Text
Mengikuti H. Agus Salim dalam Tiga Zaman
Sukar mencari orang yang begitu gigih antipenjajahan, sampai anak-anaknya pun tidak rela dididik di sekolah jajahan. Semuanya dididik sendiri di rumah, kecuali yang bungsu, karena kebetulan masa sekolahnya ketika Indonesia telah merdeka.
Indonesia memilih hidup miskin di daerah perkampungan kota Jakarta. Padahal, kalau mau bekerja pada pemerintah Belanda, ia bisa mendapat kedudukan tinggi. Sejak di sekolah dasar Belanda sampai lulus dari sekolah menengah Belanda ia selalu lulus sebagai nomor satu. Waktu harus berpidato dalam bahasa Perancis di Jenewa, ia menolak pidatonya diterjemahkan oleh komisi yang sudah disediakan. Ternyata bahasa Prancisnya begitu sempurna. Pidato Belandanya di Volksraad sukar ditandingi oleh bangsa Belanda totok sekalipun. Maklum, sejak mulai sekolah ia bersekolah di sekolah Belanda, dan ketika duduk di sekolah menengah di indekos pada keluarga Belanda. Tidak aneh kalau bahasa Belanda menjadi bahasa ibunya yang kedua. Namun ... ia tidak lulus dalam ujian "guru bantu", untuk guru sekolah dasar, karena nilai bahasa Belandanya jelek.
Itulah Haji Agus Salim, yang nama pemberian orang tuanya Mashudul Haq. Pejuang tiga zaman yang mendapat julukan "The Grand Old Man".
0048916 | 920 Unt m | Perpustakaan SMA Negeri 8 Yogyakarta (900) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain